Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yakin Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dapat mewujudkan mimpi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk memiliki rumah layak huni. Rancangan Undang Undang (RUU) Tapera yang diperkirakan akan selesai dibahas oleh Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Maret tahun ini, saat ini prosesnya sudah mencapai 85 persen.
RUU Tapera merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang bertujuan menghapus backlog (kekurangan) yang dirasa masih sulit dijangkau oleh MBR.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR, Maurin Sitourus meminta kepada semua pihak terkait agar mendukung terwujudnya Undang-undang (UU) Tapera. Karena ia meyakini bahwa UU Tapera dapat mewujudkan mimpi MBR untuk memiliki rumah layak huni, sehat dan terjangkau.
Menurutnya, yang melatarbelakangi dibentuknya Tapera adalah prinsip kegotong-royongan. “Karena dananya dihimpun mulai dari masyarakat kalangan bawah hingga kalangan atas namun pemanfaatannya lebih diprioritaskan untuk kalangan bawah,” katanya dalam acara seminar bertema ‘Antara Peluang Sektor Perumahan Memperoleh Dana Murah VS Manajer Investasi’ yang digelar Housing Editors Club (HEC) di Jakarta, Selasa (2/2).
Masyarakat yang telah memiliki rumah tidak berhak memanfaatkan Tapera. Tapera juga merupakan upaya menghimpun dana jangka panjang dan berkelanjutan, oleh sebab itu penggunaannya tidak bisa lepas dari kebijakan pemerintah.
“Saya berharap adanya masukan konstruktif untuk memacu terealisasinya UU ini,” ujarnya.
Maurin mengatakan bahwa Tapera akan memiliki dasar hukum yang kuat, ketimbang dana yang dihimpun dalam BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Oleh sebab itu, keberadaan Tapera tidak bisa dipailitkan.
Selanjutnya, keberadaan Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) yang saat ini masih eksis, ke depan akan dilebur menjadi satu dalam Tapera.
Terkait dana, dana dihimpun dari setiap warga negara baik yang berlatar belakang pekerja formal maupun pekerja mandiri. “Peserta dikenakan 3 persen dari gaji atau upah dengan skema 2,5 persen ditanggung peserta dan 0,5 persen oleh pemberi kerja,” katanya.
Menurutnya, keberadaan dana ini semata-mata untuk membiayai pengadaan rumah bagi masyarakat kelas bawah. Ini menjadi prinsip dasar dari konstitusi di Indonesia untuk para pekerja khususnya pekerja informal.
Dijelaskan, dana investasi yang terhimpun dalam Tapera ini nantinya akan dikelola oleh suatu badan/lembaga baru yang segera akan dibentuk pemerintah. Badan ini betul-betul baru dan beroperasi di seluruh Indonesia. Dananya juga akan dikelola sedemikian rupa sehingga dana yang yang notebene dana murah ini nantinya tidak berubah peruntukkannya menjadi mahal akibat dibisniskan.
“Dana yang ada khusus dimanfaatkan, dan tidak untuk diinvestasikan oleh manajer investasi,” tegas Maurin.
Wakil Ketua Pansus RUU Tapera DPR RI, Mukhamad Misbakhun yang juga hadir dalam acara seminar tersebut berharap pemanfaatan Tapera selamanya akan sesuai dengan tujuan awal yakni mengatasi kebutuhan sekaligus menggerus kesenjangan (backlog) akan ketersediaa rumah murah. Misbakhun menilai masalah yang dihadapi pemerintah hingga saat ini adalah menyediakan hunian rumah yang layak huni, sehat namun harganya terjangkau sesuai penghasilan masyarakat menengah ke bawah.
Ia berpandangan bahwa Tapera adalah wahana menghimpun dana dalam jangka panjang dari masyarakat untauk meningkatkan akses kepemilikan rumah bagi warga masyarakat yang membutuhkan. Saat ini pembahasan RUU Tapera tengah masuk penanganan tim perumus singkronisasi dan harmonisasi guna menghindari salah tulis.
“Hal itu, dikarenakan bulan depan (Maret) RUU dijadwalkan selesai,” ujarnya.
Diberlakukannya UU Tapera sebagaimana harapan dari masyarakat, adalah tersedianya perumahan layak huni, sehat dan harganya terjangkau. Semua ini bisa diwujudkan melalui ketersediaan dana murah yang dihimpun dalam suatu wadah yakni Tabungan Perumahan. (Sony)