Dalam rangka Hari Bakti PU ke-70, Kementerian PUPR melalui Biro Komunikasi Publik menyelenggarakan Diskusi Umum dengan tema Urbanisasi Berkelanjutan. Urbanisasi tidak bisa lagi dianggap sebagai perpindahan orang dari desa ke kota. Karena banyak hal –hal yang perlu disikapi dalam proses terjadinya urbaninisasi. Urbanisasi akan menjadi salah satu persoalan yang dihadapi dengan kompleksitas yang ada dalam 20 – 30 tahun ke depan.
Demikian disampaikan Kepala Biro Komunikasi Publik Velix Wanggai dalam Diskusi Umum dengan tema Urbanisasi Berkelanjutan yang diselenggarakan Biro Komunikasi Publik, Rabu (25/11). Kesiapan Indonesia dalam mengelola urbanisasi yang berkelanjutan akan dibawa pada Konferensi Habitat III yang akan diselenggarakan di Equador.
Hadir dalam acara tersebut Staf Ahli Menteri Bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarat Lana Winayati. Sebagai narasumber dalam diskusi tersebut adalah Walikota Bogor Bima Arya dan Sosiolog UGM Arie Sudjito dengan moderator Ruchyat Deni Djakapermana Pakar dari Kemitraan Habitat.
Walikota Bogor Bima Arya dalam diskusi tersebut memberikan gambaran mengenai upaya Kota Bogor dalam mensikapi urbanisasi.“Kota Bogor dekat dengan ibukota. Banyak tantangan kompleks yang dihadapi. Kota Bogor yang dulu disebut dengan kota taman sekarang berganti menjadi kota sejuta angkot. Penyebaran penduduk kepinggiran Ibukota menyebabkan Bogor menjadi kawasan permukiman. Setiap hari ada 800ribu komuters dari Bogor - Jakarta. Tiap minggu ada sekitar 200.000-300.000 orang masuk Kota Bogor untuk wisata,”ujar Bima.
Pusat kota di Kota Bogor saat ini juga memiliki masalah. Hampir semua aktivitas penduduk berpusat di kota. Untuk itu, Walikota mengalokasikan dana promosi pariwisata di Kota Bogor ke bidang lain. Perencanaan yang terpusat (radial consentrate) menyebabkan semua ada di pusat kota dan bergerak ke pusat kota antara lain pusat pemerintahan, pusat perbelanjaan, kampus-kampus dan tempat ibadah. Untuk itu, Walikota Bogor melakukan Redistribusi Fungsi dengan menggerakkan pusat-pusat kegiatan ke pinggir.
“Di tengah kota akan dilakukan moneratorium pembangunan hotel dan mall untuk tidak dibangun lagi. Kecuali yang sudah berjalan. Pusat - pusat lain juga akan digeser ke pinggir. Kita bagi wilayah pelayanan sesuai dengan peruntukannnya. Kota Bogor sudah menyelesaikan rencana detail tata ruang yang sedang di bahas di DPRD,”turut Bima.
Rencana grand design Bogor ke depan menjadikan pusat kota sebagai heritage atau kota pusaka. Kemudian, menyebar fungsi-fungsi perdagangan, wisata dll ke pinggiran kota. Sebagai contoh, daerah selatan untuk wisata, daerah barat untuk pertanian, dan daerah utara untuk bisnis.
Sementara itu, Sosiolog UGM Arie Sudjito mengatakan bahwa arah sebuah kota atau daerah di bangun dipengaruhi oleh pemimpinnya, termasuk kebijakan. Penanganan urbanisasi di Indonesia tidak hanya dipahami sebagai perpindahan orang dari desa ke kota. Saat ini, kota harus dipahami sebagai entitas yang antar presfektif baik ekonomi, antropologi dan sosiologi yang saling berdialog.
“Pembangunan jembatan harus dilihat secara ekonomi, antropologis, sosiologis. Rasa memiliki publik lemah terhadap pembangunan infrastuktur karena pembangunan hanya dilihat dari segi fisik tidak dibarengi dengan segi sosiologi dan sebagainya,”kata Arie.
Desa yang cenderung identik dengan kemiskinan, keterbelakangan dan kesenjangan sosial ekonomi menyebabkan masyarakat pada akhirnya berpindah ke kota. Kota mejadi daya tarik untuk mencari lapangan kerja dan sumber penghidupan. Dampak yang timbul antara lain kemacetan, polusi dan pencemaran air dan tanah.
Untuk itu pandangan baru mengenai perlunya menciptakan transformasi masyarakat desa yang berdaya dan membangun peradaban kota menjadi tantangan penting. Jika desa berdaya, maka kota akan bisa tumbuh dalam relasi equel, berkeadilan dalam pembangunan berkelanjutan. (ind)